News Update :
Home » , , » Hakim Adat Minta Pengakuan dari Negara

Hakim Adat Minta Pengakuan dari Negara

Penulis : Citey Soe on Friday, October 11, 2013 | 9:38 AM

Kadirman dari Lembaga Adat Jenang Kutai, Kabupaten Lebong, Bengkulu meminta agar negara segera memberi pengakuan kepada hakim-hakim adat yang berkumpul di lembaga adat yang tersebar di Indonesia.


'Lembaga adat di Indonesia ini yang berperan menyelesaikan masalah-masalah di daerah. Akuilah lembaga adat ini. Baru bisa kita bicara bagaimana posisi hukum adat di peradilan Indonesia,' ujarnya dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Hukum Rakyat, di Jakarta, Kamis (10/10).


Pernyataan ini untuk merespon usulan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara Lilik Mulyadi yang memformulasikan peradilan adat dalam sistem peradilan Indonesia ke depan. Ia menawarkan tiga opsi: peradilan adat yang mandiri; peradilan adat berada di bawah peradilan umum; atau hakim pengadilan negeri cukup mengakomodir nilai-nilai adat dalam putusannya.


Kadirman mengatakan sebelum berbicara terlalu jauh bagaimana posisi peradilan adat di sistem peradilan Indonesia ke depan, sebaiknya pemerintah mengakui terlebih dahulu lembaga-lembaga adat yang sudah eksis di sejumlah daerah. Toh, lembaga adat ini juga memainkan peranan sebagai pengadilan bila ada masalah di lingkungan adat mereka.


Contohnya adalah Lembaga Adat Jenang Kutai. Kadirman menuturkan di lembaga adat daerahnya ini setidaknya membawahi 113 desa di Kabupaten Lebong, Bengkulu. Penduduk di masing-masing desa itu menunjuk enam hakim adat. 'Yang menjadi hakim adat adalah pemuka-pemuka adat di masing-masing desa,' ujarnya.


Kadirman mengatakan yang menjadi masalah adalah putusan para hakim adat yang telah diterima oleh dua pihak yang bersengketa kerap tak diindahkan aparatur penegak hukum pemerintah. Ia mencontohkan kasus-kasus seperti tabrakan motor atau mobil, yang berhasil didamaikan, tetapi akhirnya polisi tetap mengusut kasus tersebut.


'Itu yang jadi masalah. Alasan polisi karena itu pidana. Padahal sudah selesai antara pelaku dan korban. Penyelesaian dengan nilai-nilai adat yang ada di desa praktis sekali, satu jam selesai. Seharusnya, kalau sudah diselesaikan, polisi ngga bisa usut lagi, kecuali untuk kasus-kasus yang berat,' jelasnya.


Pokok masalahnya, lanjut Kadirman, adalah karena lembaga adat ini belum diakui negara baik di tingkat pusat maupun daerah. Padahal, UUD 1945 menjamin adanya eksistensi masyarakat hukum adat. 'Kami belum diakui oleh Pemda maupun Negara kami sendiri. Kami ingin segera diakui,' tuturnya.


Lilik Mulyadi menjelaskan sebenarnya lembaga adat itu sudah diakui dalam sistem peradilan Indonesia. Pengakuannya dapat di lihat dari model ketiga yang dipaparkannya, yakni hakim-hakim telah menggali nilai-nilai adat ketika membuat putusan. 'Itu sudah berjalan sekarang,' ujarnya.


Lebih lanjut, Lilik mengatakan model penyelesaiannya itu adalah bila sebuah kasus selesai di lembaga adat, maka kasus itu sudah dianggap selesai. Bila ternyata tak selesai juga, baru kemudian berjalan ke peradilan nasional. 'Sebenarnya pengadilan sudah mengakui itu,' ujarnya.


Lilik tak asal omong. Ia menunjuk yurisprudensi Putusan MA No. 1644 K/Pid/1988 terhadap sebuah kasus di Kendari, Sulawesi Selatan. Kasus ini berawal dari perbuatan asusila seseorang di Desa Parauna Kecamatan Unaaha, Kodya Kendari yang ditangani oleh Kepala Adat Tolake.


Kepala Adat Tolake menjatuhkan vonis kepada pelaku berupa sanksi adat 'Prohala', pelaku harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci. Pelaku mematuhi sanksi itu. Sayangnya, meski sudah selesai di lembaga adat, kasus ini tetap ditangani oleh kepolisian dan berujung ke Pengadilan Negeri.


Di Pengadilan Negeri Kendari, majelis hakim menegaskan terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana adat 'memperkosa'. Majelis juga menolak pembelaan terdakwa bahwa PN seharusnya tak mengadili kasus ini lagi karena sudah selesai di lembaga adat. Argumen nebis in idem juga ditolak oleh pengadilan.


Di Pengadilan Tinggi, majelis hakim menguatkan putusan PN. Majelis menyatakan terdakwa duhukum karena bersalah melakukan perbuatan 'pidana adat siri'. Uniknya, di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) justru membalik semua putusan PN dan PT tersebut.


Lilik menjelaskan MA berpendapat bahwa terdakwa telah menjalani sanksi adat berupa membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci. Karenanya, PN dan PT seharusnya tak berwenang lagi menjatuhi hukuman kepada terdakwa.


'Bahwa hukuman adat tersebut adalah sepadan dengan kesalahan terhukum sehingga menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman pidana lagi oleh pengadilan,' ujar Lilik mengutip putusan MA tersebut.


Share this article :

Post a Comment

 
Home
Copyright © 2013. Berita Unik Indonesia . All Rights Reserved.